LINGGA, MTONENEWS. COM- Sebuah insiden yang melibatkan Safaruddin, seorang pejabat di Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lingga, dengan seorang oknum wartawan bernama Aliasar, menghebohkan publik. Peristiwa yang terjadi di restoran Winner, Pancur, Kecamatan Lingga Utara, ini diungkap oleh saksi kunci bernama Ruslan atau yang akrab dipanggil Jagat, yang hadir saat kejadian.
Kronologi Kejadian
Jagat menjelaskan bahwa ia bersama Safaruddin datang ke restoran Winner untuk makan malam dengan teman-teman tanpa mengemban tugas resmi, karena saat itu Safaruddin tidak mengenakan atribut pemerintah. Namun, tanpa diduga, Aliasar, seorang wartawan yang dikenal sering menerbitkan berita kritis terhadap Pemkab Lingga, juga berada di lokasi yang sama.
Menurut Jagat, insiden ini seharusnya tidak perlu dibesar-besarkan karena murni masalah pribadi, namun ia menilai ada pihak yang mempolitisasi kejadian ini mengingat situasi pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang sedang berlangsung.
Dugaan Pemicunya: Tuduhan Terhadap Istri Bupati
Jagat menjelaskan, perselisihan bermula dari pemberitaan Aliasar yang dianggap tendensius, khususnya menyangkut tuduhan terhadap istri Bupati Lingga yang diduga terlibat dalam kasus korupsi di Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman (Disperkim) Lingga. Safaruddin, yang memiliki hubungan keluarga dengan istri Bupati Lingga, merasa nama baik keluarganya tercemar atas tuduhan tersebut. Ia tidak bisa menahan emosinya dan menantang Aliasar untuk duel satu lawan satu di lokasi kejadian.
“Safaruddin memang mengajak Aliasar untuk duel sebagai bentuk pelampiasan emosi, dan ia sempat memecahkan botol. Namun, itu bukanlah ancaman fisik, hanya pelampiasan emosi,” jelas Jagat, Sabtu (26-10-24).
Klarifikasi Tuduhan Pengancaman dan Politisasi
Jagat juga menyatakan bahwa pemberitaan yang beredar tentang adanya ancaman atau rencana pengepungan adalah tidak benar. Ia menegaskan Safaruddin memecahkan botol bukan untuk menyerang Aliasar, tetapi justru memberikan pecahan botol tersebut kepada Aliasar dengan niat menyuruhnya menikam dirinya sebagai bentuk tantangan. Namun, menurut Jagat, Aliasar tidak berani merespons tantangan tersebut.
Dalam penjelasannya, Jagat menyoroti bahwa narasi pemberitaan yang mengaitkan jabatan Safaruddin dengan insiden ini seolah-olah dimanfaatkan oleh lawan politik petahana. Ia juga menyesalkan pemberitaan yang turut menyeret nama Widi Satoto, pejabat Pemkab Lingga lain yang kebetulan ada di lokasi namun hanya berupaya melerai perselisihan tersebut.
“Pak Widi yang niatnya melerai justru dilibatkan dalam pemberitaan yang tidak berimbang. Upaya politisasi dalam insiden ini terlihat jelas,” ungkap Jagat.
Sorotan terhadap Profesionalisme Oknum Wartawan
Lebih jauh, Jagat mengkritik rekam jejak Aliasar yang dinilai sering memberitakan isu-isu tendensius tanpa dasar fakta kuat atau memberikan ruang klarifikasi bagi pihak terkait. Aliasar disebutkan pernah memberitakan dugaan kasus korupsi lain seperti kasus korupsi bonsai di Dinas Perkim tanpa klarifikasi dari pihak-pihak yang diberitakan.
Jagat menambahkan bahwa berdasarkan informasi yang diterimanya, Aliasar belum pernah mengikuti uji kompetensi wartawan, dan media tempatnya bekerja juga belum terverifikasi oleh Dewan Pers. Hal ini menimbulkan keraguan terhadap profesionalitas dan integritas Aliasar dalam menjalankan tugas jurnalistik.
Ajakan untuk Masyarakat
Di akhir keterangannya, Jagat mengajak masyarakat agar bersikap bijak dalam mencerna informasi yang beredar. Ia menekankan bahwa produk jurnalistik yang dapat dipercaya seharusnya dihasilkan oleh jurnalis profesional yang mengedepankan integritas dan fakta.
“Publik perlu melihat kejadian ini secara objektif, jangan sampai terjebak dalam narasi politisasi. Insiden ini seharusnya menjadi bahan refleksi bagi jurnalis untuk selalu mengedepankan profesionalitas dan berimbang dalam memberitakan,” tutup Jagat.
Insiden ini membuka diskusi lebih luas mengenai pentingnya integritas dan profesionalisme dalam dunia jurnalistik, terutama dalam konteks pemberitaan yang objektif dan berdasarkan fakta di tengah tahun politik.