Putusan Perdata MT Arman 114 Dinilai Cederai Rasa Keadilan, Kejati Kepri Ajukan Banding

Tanjungpinang, — Putusan kontroversial Pengadilan Negeri Batam yang memenangkan gugatan perdata Ocean Mark Shipping Inc (OMS) terkait kepemilikan kapal MT Arman 114 dan muatan minyak mentahnya, menuai sorotan tajam dari berbagai pihak. Gugatan yang dikabulkan pada 2 Juni 2025 itu dianggap mencederai rasa keadilan dan melemahkan integritas sistem peradilan pidana di Indonesia. Kejaksaan Tinggi Kepulauan Riau pun resmi mengajukan banding atas putusan tersebut, Selasa (2 Juni 2025).

Kepala Kejaksaan Tinggi Kepri, Teguh Subroto, S.H., M.H., dalam keterangannya menilai putusan perdata tersebut merupakan preseden buruk dalam penegakan hukum, serta keliru dalam penerapan hukum acara. “Hakim telah keliru, khilaf, dan salah dalam menerapkan suatu hukum, sehingga kami telah menyatakan upaya hukum banding pada tanggal 4 Juni 2025,” tegas Teguh.

Bacaan Lainnya

Gugatan yang dimenangkan oleh OMS dalam perkara Nomor: 323/Pdt.G/2024/PN Btm itu berseberangan dengan putusan pidana sebelumnya dalam perkara Nomor: 941/Pid.Sus/2023/PN Btm, di mana PN Batam telah merampas kapal MT Arman 114 beserta muatan Light Crude Oil sebanyak 166.975,36 metrik ton untuk negara. Putusan pidana tersebut bahkan telah berkekuatan hukum tetap (inkracht).

Pakar Hukum: Ini Preseden Buruk Bagi Penegakan Hukum

Pakar Hukum Pidana dari Universitas Katolik Parahyangan, Agustinus Pohan, S.H., M.S., memberikan kritik keras terhadap putusan tersebut. Menurutnya, dalam sistem hukum Indonesia, putusan pidana memiliki kedudukan hukum lebih tinggi dibandingkan putusan perdata. “Ada masalah serius bila putusan perdata dijadikan alat untuk membatalkan putusan pidana yang telah inkracht,” jelasnya.

Pohan memperingatkan bahwa praktik semacam ini bisa membuka celah manipulasi hukum. Ia menilai, gugatan perdata semestinya tidak bisa digunakan untuk mengambil kembali barang bukti yang telah dirampas untuk negara dalam perkara pidana. “Kalau hal ini dibiarkan, akan terbuka ruang manipulasi hasil putusan pidana lewat gugatan perdata. Ini tentu tidak sehat bagi sistem peradilan kita,” ujarnya.

Barang Bukti Pidana Bukan Objek Gugatan Perdata

Lebih lanjut, Pohan menyatakan bahwa dalam hukum acara pidana, barang bukti seperti kapal MT Arman 114 dan muatannya bukan objek gugatan perdata, karena sudah disita sebagai alat bukti kejahatan. “Kalau misalnya harta saya disita dalam perkara pidana korupsi, saya tidak akan menggugat secara perdata. Saya akan buktikan lewat jalur pidana bahwa saya pihak yang beritikad baik,” jelasnya.

Ia menambahkan, penyitaan kapal dan muatan dalam kasus ini bukan atas nama pribadi, tapi berkaitan erat dengan tanggung jawab korporasi. “Jika Ocean Mark Shipping Inc diakui sebagai pemilik sah, maka mereka juga harus dimintai pertanggungjawaban atas dugaan pencemaran laut oleh kapal tersebut,” terang Pohan.

Kekhawatiran Publik atas Integritas Hakim

Publik kini mulai mempertanyakan integritas dan objektivitas hakim dalam perkara ini. Pohan menyatakan bahwa hakim bukan pihak yang kebal kritik, terlebih jika ada indikasi pelanggaran etik atau intervensi eksternal. “Jika ada dugaan bahwa putusan dipengaruhi kepentingan luar, maka harus dilaporkan ke Komisi Yudisial atau Mahkamah Agung,” kata dia.

Menurutnya, pengawasan terhadap lembaga kehakiman adalah elemen penting dalam menjaga kredibilitas lembaga peradilan dan menjamin keadilan bagi seluruh warga negara. Ia mengajak masyarakat dan aparat hukum untuk aktif mengawasi serta menjaga marwah institusi peradilan.

Kejati Kepri Optimistis Banding akan Mengoreksi Putusan

Dalam kesempatan terpisah, Kajati Kepri menegaskan bahwa pihaknya percaya banding yang telah diajukan akan memberikan keadilan substantif dan korektif terhadap putusan yang dinilai mencederai rasa keadilan tersebut. “Kami yakin hukum dan keadilan akan menjadi panglima. Putusan di tingkat banding akan memperbaiki kekeliruan yang telah terjadi di tingkat pertama,” ujarnya.

Teguh Subroto menambahkan bahwa langkah hukum ini bukan semata pembelaan institusional, tetapi mewakili kepentingan publik dan negara, yang telah dirugikan oleh tindakan korporasi internasional. “Kami ingin memastikan bahwa hukum di Indonesia tidak bisa ditawar-tawar dan dijadikan alat kepentingan oleh siapa pun,” tegasnya.

Aparat Penegak Hukum Diminta Tidak Pasif

Sebagai penutup, Agustinus Pohan menyerukan agar aparat penegak hukum tidak bersikap pasif dalam menghadapi kasus-kasus seperti ini. “Penyidik tidak perlu menunggu laporan untuk bertindak. Jika ada dugaan pelanggaran, proses penyelidikan seharusnya segera dimulai,” tegasnya.

Putusan perdata dalam kasus MT Arman 114 bukan hanya memengaruhi satu institusi atau satu perkara, tapi bisa menjadi bumerang bagi sistem hukum nasional. Oleh karena itu, semua pihak diimbau untuk mengawal proses hukum lanjutan demi menegakkan prinsip keadilan yang sejati.


(Topan)

Pos terkait